Selasa, 25 Juni 2013

Sekolah Adalah (Masih) Tempat Untuk Menuntuk Ilmu

Oleh: Hiskia Frans Eireneus Sijabat (SMAN 15 MEDAN)

                Dewasa ini, sekolah adalah hal yang dikatakan paling penting untuk anak seumuranku. Karena di zaman modern yang penuh dengan teknologi, tidaklah mampu seorang anak dapat mengerti dan menguasai segalanya jikalau tidak ada sesseorang yang membimbing dan membina. Untuk itulah kita bersekolah. Secara sederhana sekolah adalah (masih) tempat untuk menuntut ilmu. Sehingga kita mencari sekolah dambaan, yang cocok untuk menampung, membimbing dan membina segala pemikiran kita secara tepat. Sekarang ini memang sudahlah ada sekolah swasta yang menawarkan beberapa dambaan di dalam hati kita. Tetapi, bagaimana sekolah milik Negara kita yang berlabel sekolah negeri? Sudah cukup layak kah untuk didambakan?
                Saya adalah murid di SMA NEGERI 15 MEDAN, termasuk dalam jajaran sekolah negeri dambaan di kota Medan dengan Akreditasi A. Sekolah dengan guru yang lebih dari 90% telah mendapatkan sertifikasi. Apakah ini layak mendapat gelar sekolah dambaan? Sejak SMP saya ingin bersekolah di sekolah tersebut, karena abang (kakak) saya juga sekolah di situ dan beliau sering mempromosikan sekolah tersebut padaku, sehingga aku tertarik bersekolah di situ. Setelah bersekolah, saya tidaklah merasakan sesuatu yang lebih. Karena di sekolah saya dulu  (SMPN 10 MEDAN) juga seperti ini. Terlalu banyak murid yang masuk ke sekolah ini bukanlah dari kempuan mereka sendiri. Banyak hal yang membuat diri saya geram dengan sekolah ini sehingga saya ingin curhat dan mencurahkan segala unek-unek saya tentang sekolah dambaan.
                Salah satu hal yang paling kugeramkan dan kuwajarkan juga adalah sekolah menjadi sebuah tempat FORMALITAS NILAI karena tingginya nilai KKM. Bayangkan saja, jika anda bersekolah di sekolah dengan akreditasi A, maka nilai KKM untuk pelajaran yang masuk UN adalah 72 dan yang lain adalah 70. Nilai yang fantastis jika kita pikirkan nilai sempurna adalah 100. Ditambah lagi, jika Anda bersekolah di sekolah negeri bukan tak jarang Anda akan melihat guru yang malas untuk mengajar karena berpikir dia sudah dalam posisi aman. Lantas muncullah pemikiran-pemikiran beliau untuk mengadakan ‘les tambahan’. Kita bersyukur jika masih ada guru yang berpikir les tambahan sebagai tempat karena kurangnya jumlah les yang ada disekolah. Sayangnya, mereka hanya sebagian kecil paling hanya terdapat dalam kalangan guru muda. Karna dalam kenyataannya kita lebih sering melihat para guru melakukan les sebagai sarana alasannya untuk menaikan nilai murid. Jika murid rajin les, maka nilainya PASTI lulus KKM. Dengan berbagai cara lain untuk mengelabui keformalan les tersebut, maka guru memberi beberapa kisi-kisi saat ujian bahkan tak jarang kisi-kisi tersebut langsung soal ujian. Yang penting formalitas nilai terlampaui. Lantas bagaimana dengan siswa yang tidak les? Karena saat tidak les mereka mendapat diskriminasi oleh guru, maka mereka mengikuti les walaupun terkatung-katung dalam biaya. Fenomena ini sudah sering kita saksikan, apalagi di sekolah negeri. Alangkah indahnya memiliki kehidupan menjadi guru negeri jika seperti itu. Lantas bagaimana bagi siswa yang tidak ikut les sama sekali? Disinilah kemurnian siswa itu dituntut. Jadi, sebenarnya apakah les tambahan sebagai penambah nilai baik? Menurut saya, tidak sama sekali. Tidaklah layak suatu sekolah yang melakukan hal tersebut menyandang sekolah dambaan jika nilai didongkrak-dongkrak. Siapa yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut? Salah satu yang harus bertanggung jawab adalah tingkat sekolah dasar dimana murid dinaikkelaskan padahal dia tidak mampu menguasai pelajarannya saat itu. “Fondasi yang kuat adalah kunci bangunan yang kuat.” Dalam sebuah wawancara yang saya lakukan terhadap guru yang masuk ke kelas saya, setiap guru mengaku terlalu sulit untuk MENGKATROL nilai kelas ini. Guru matematika saya berkata, “ Sangat sulit untuk mengkatrol nilai kelas ini (kelas saya) karena saya juga harus menjaga supaya tidak terlalu banyak yang tidak melampaui KKM dan murid yang memiliki kemamampuan berbeda memiliki perbedaan berbeda pula, serta nilai-nilai murid yang pintar tidaklah terlalu tinggi agar setiap semesternya nilainya tetap naik untuk memasuki PTN melalui jalur SNMPTN. Kesulitan mendongkrak nilai itu juga tak lepas dari lebih banyak murid yang kurang mampu bahkan tidak mampu untuk menangkap materi yang diberikan karna kurangnya dasar mereka.”
                Hal lain yang membuat sakit hati murid-murid adalah dewasa ini masih merajalelanya NEPOTISME. Guru PKn saya mengajarkan alangkah tidak baiknya nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto kemudian yang mulai diikuti oleh Presiden SBY. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun beliau melaukan tidakan nepotisme di sekolah, sungguh tragis! Saya termasuk korbannya! Pada semester I, saya mendapat rangking 2, tapi pada semester 2 saya mendapat rangking 4 karena ada anak guru yang datang. Padahal dari kacamata teman-temanpun dia tidaklah lebih baik dari saya. Tapi yasudahlah siapa yang dapat disalahkan? Kisah tragis saya berlanjut di semester 3, mendapat kelas dengan 2 orang anak guru, membuat saya mendapat rangking dibawah kedua anak guru tersebut sehingga saya mendapat rangking 5, sedangkan anak guru tersebut menduduki posisi ke-2 dan ke-3. Teman-teman tetap mendukung saya, tapi hal ini sudah biasa terjadi di sekolah negeri. Bayangkan saja jika Anda sebagai guru, Anda mempunyai anak guru di kelas Anda mengajar, pasti Anda akan memberikan nilai yang baik kepadanya  hasalkan dia diam di kelas dan mengerjakan tugas walaupun dia kurang pintar karena dia anak teman Anda. Sungguh sesuatu yang wajar karena kedaulatan nilai sampai sekarang masih di tangan yang mulia guru. Jadi untuk menulis blog ini saya mewawancarai seorang Pembina sebuah organisasi Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang ada di sekolah saya. Beliau adalah guru muda. Beliau mengaku kurang menyukai tindakan nepotisme dan mengaku sulit untuk memberikan nilai karena nantinya akan ada tindakan DISKRIMINASI dari para seniornya. Jadi dalam sekolah dambaan saya, segala tindakan nepotisme dihapuskan dan bertindaklah adil.
                Hal lain yang masih merupakan sesuatu yang menjadi dambaan adalah kedisiplinan. Mungkin jika Anda berpikir sebagai murid, anda tidaklah suka sekolah dengan disiplin ketat karena mengahambat kehoga-hogaan Anda. Tetapi, cobalah Anda berpikir sebagai orang tua. Alangkah tenangnya Anda jika anak Anda bersekolah di sekolah dengan disiplin tinggi. Di samping segudang peraturan yang biasa kita jumpai, cobalah kita tambahkan bebera peraturan lain seperti, setiap siswa yang berkendaraan tidak boleh memasuki kawasan sekolah jika tidak memenuhi standart keamanan berkendara. Kemudian untuk mengurangi angkaakan banyak sekolah-sekolah lain yang meniru, dan hal tersebut berakibat semakin baik bagi keasrian kota. PKS bidang Kesiswaan sekolah saya berkata, “Dari sekolahlah lahir orang yang akan meneruskan Negara ini. Jika kita menanamkan rasa bertanggung jawab dan cinta lingkungan semoga mereka lebih baik dari generasi kita.”
                Hal lain yang menjadi dambaan saya adalah dibudidayakannya organisasi-organisasi yang ada di sekolah. Organisasi menurut saya adalah sebuah wadah yang dapat menahan kelabilan seorang siswa. Jadi, di dalam organisasi sifat hoga-hoga siswa jadi lebih diarahkan. Jika pihak sekolah lebih membudidayakannya, maka sekolah tersebut dapat menjadi sekolah teladan, sekolah yang aktif berpartisipasi dan menambah daya tarik sekolah tersebut. Jika organisasinya bagus, bukan tidak mungkin banyak siswa yang berprestasi datang kesekolah itu untuk bergabung dengan organisasi tersebut dan mengharumkan nama sekolah itu juga. Pembina pramuka disekolah saya berkata, “Geng motor adalah sebuah organisasi dan pramuka juga organisasi. Mereka lebih memilih geng motor karna lebih menarik menurutnya.” Oleh karena itu sebuah organisasi juga butuh perhatian agar kelihatan lebih menarik.
Saya adalah orang yang suka berkompetisi. Alangkah baiknya jika setiap sekolah itu harus melewati tes murnii ketika mau masuk sekolah. Disamping untuk menahan murid-murid yang kurang mampu agar tak perlu didongkrak-dongkrak dan menahan tindakan nepotisme, hal ini juga akan menyaring siswa yang benar-benar mampu untuk bersaing dan berprestasi. Memang kita akan melihat betapa berpatisi-partisinya manusia di dunia ini. Ini mungkin menyakitkan, tapi itu mungkin akan menjadi motivasi yang besar bagi setiap calon murid. Saya juga lebih suka melihat sekolah yang memiliki kelas unggulan. Karena, jika seorang siswa masuk kelas unggulan maka mereka akan merasakan atsmosfer yang lebih panas, sehingga termotivasi dan berjuang dengan mesin yang panas pula. Tetapi, jika murid yang layak menerima kelas unggulan tidak setuju untuk masuk kelas unggulan tidak mau memasukinya mereka berhak menolak dikarenakan takut rangkingnya turun atau alasan lain. Karena itu akan membuat dia takut untuk tampil. Dan juga, dalam sekolah dambaan itu akan lebih baik jika dibuat sejenis kelas olimpiade. Sebab materi dalam olimpiade adalah pelajaran yang sangat sedikit disinggung dalam pelajaran sekolah karena saking mendalamnya. Jika murid diajarkan dan dapat memenangkan olimpiade seperti OSN, dll, maka itu juga akan mengharumkan sekolah dan menambah daya tarik sekolah tersebut. Memang akan memakan biaya lebih, tetapi dengan nilai jual yang akan dihasilkan itu tidak akan mempengaruhi. Kita lihat saja SMA sekaliber SMA Sutomo. Mereka melakukan hal seperti ini dan memetik buah yang sangat manis sekarang. Karena siswa sendiripun pasti ada yang ingin sekali memanagkannya karena ada begitu banyak fasilitas pemerintah yang akan ditawarkan jika memenangkan olimpiade, sebut saja dapat masuk UI tanpa testing.
Inilah sekian pendapat saya tentang sekolah dambaan. Semoga masih ada sekolah sebagai tempat menuntut ilmu, bukan sebagai tempat formalitas nilai, nepotisme, geng motor, dan tempat murid malas. Terimakasih banyak atas perhatian pembaca. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tuhan memberkati, Amin.:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar