Dewasa ini, sekolah adalah hal
yang dikatakan paling penting untuk anak seumuranku. Karena di zaman modern
yang penuh dengan teknologi, tidaklah mampu seorang anak dapat mengerti dan
menguasai segalanya jikalau tidak ada sesseorang yang membimbing dan membina.
Untuk itulah kita bersekolah. Secara sederhana sekolah adalah (masih) tempat
untuk menuntut ilmu. Sehingga kita mencari sekolah dambaan, yang cocok untuk
menampung, membimbing dan membina segala pemikiran kita secara tepat. Sekarang
ini memang sudahlah ada sekolah swasta yang menawarkan beberapa dambaan di
dalam hati kita. Tetapi, bagaimana sekolah milik Negara kita yang berlabel
sekolah negeri? Sudah cukup layak
kah untuk didambakan?
Saya adalah murid di SMA NEGERI
15 MEDAN, termasuk dalam jajaran sekolah negeri dambaan di kota
Medan dengan Akreditasi A. Sekolah dengan guru yang lebih dari 90% telah
mendapatkan sertifikasi. Apakah ini layak mendapat gelar sekolah dambaan? Sejak
SMP saya ingin bersekolah di sekolah tersebut, karena abang (kakak) saya juga
sekolah di situ dan beliau sering mempromosikan sekolah tersebut padaku,
sehingga aku tertarik bersekolah di situ. Setelah bersekolah, saya tidaklah
merasakan sesuatu yang lebih. Karena di sekolah saya dulu (SMPN 10 MEDAN) juga seperti ini.
Terlalu banyak murid yang masuk ke sekolah ini bukanlah dari kempuan mereka
sendiri. Banyak hal yang membuat diri saya geram dengan sekolah ini sehingga
saya ingin curhat dan mencurahkan segala unek-unek saya tentang sekolah
dambaan.
Salah satu hal yang paling
kugeramkan dan kuwajarkan juga adalah sekolah menjadi sebuah tempat FORMALITAS NILAI karena tingginya nilai
KKM. Bayangkan saja, jika anda
bersekolah di sekolah dengan akreditasi A, maka nilai KKM untuk pelajaran yang
masuk UN adalah 72 dan yang lain adalah 70. Nilai yang fantastis jika kita
pikirkan nilai sempurna adalah 100. Ditambah lagi, jika Anda bersekolah di
sekolah negeri bukan tak jarang Anda akan melihat guru yang malas untuk mengajar karena
berpikir dia sudah dalam posisi aman. Lantas muncullah pemikiran-pemikiran
beliau untuk mengadakan ‘les tambahan’. Kita bersyukur jika masih ada guru yang
berpikir les tambahan sebagai tempat karena kurangnya jumlah les yang ada disekolah.
Sayangnya, mereka hanya sebagian kecil paling hanya terdapat dalam kalangan
guru muda. Karna dalam kenyataannya kita lebih sering melihat para guru
melakukan les sebagai sarana alasannya
untuk menaikan nilai murid. Jika murid rajin les, maka nilainya PASTI lulus KKM. Dengan berbagai cara lain untuk mengelabui keformalan les tersebut, maka
guru memberi beberapa kisi-kisi saat ujian bahkan tak jarang kisi-kisi tersebut
langsung soal ujian. Yang penting formalitas nilai terlampaui. Lantas bagaimana
dengan siswa yang tidak les? Karena saat tidak les mereka mendapat diskriminasi
oleh guru, maka mereka mengikuti les walaupun terkatung-katung dalam biaya.
Fenomena ini sudah sering kita saksikan, apalagi di sekolah negeri. Alangkah
indahnya memiliki kehidupan menjadi guru negeri jika seperti itu. Lantas
bagaimana bagi siswa yang tidak ikut les sama sekali?
Disinilah kemurnian siswa itu dituntut. Jadi, sebenarnya apakah les tambahan sebagai penambah nilai baik? Menurut saya, tidak sama sekali.
Tidaklah layak suatu sekolah yang melakukan hal tersebut menyandang sekolah
dambaan jika nilai didongkrak-dongkrak. Siapa yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut? Salah satu yang harus bertanggung jawab
adalah tingkat sekolah dasar dimana murid dinaikkelaskan padahal dia tidak mampu
menguasai pelajarannya saat itu. “Fondasi
yang kuat adalah kunci bangunan yang kuat.” Dalam sebuah wawancara yang
saya lakukan terhadap guru yang masuk ke kelas saya, setiap guru mengaku
terlalu sulit untuk MENGKATROL nilai
kelas ini. Guru matematika saya berkata, “
Sangat sulit untuk mengkatrol nilai kelas ini (kelas saya) karena saya juga
harus menjaga supaya tidak terlalu banyak yang tidak melampaui KKM dan murid yang
memiliki kemamampuan berbeda memiliki perbedaan berbeda pula, serta nilai-nilai
murid yang pintar tidaklah terlalu tinggi agar setiap semesternya nilainya
tetap naik untuk memasuki PTN melalui jalur SNMPTN. Kesulitan mendongkrak nilai
itu juga tak lepas dari lebih banyak murid yang kurang mampu bahkan tidak mampu
untuk menangkap materi yang diberikan karna kurangnya dasar mereka.”
Hal lain yang membuat sakit hati murid-murid adalah dewasa
ini masih merajalelanya NEPOTISME.
Guru PKn saya mengajarkan alangkah tidak baiknya nepotisme yang dilakukan oleh
Presiden Soekarno dan Soeharto kemudian yang mulai diikuti oleh Presiden SBY.
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun beliau melaukan tidakan nepotisme di sekolah,
sungguh tragis! Saya termasuk korbannya! Pada semester I, saya mendapat
rangking 2, tapi pada semester 2 saya mendapat rangking 4 karena ada anak guru
yang datang. Padahal dari kacamata teman-temanpun dia tidaklah lebih baik dari
saya. Tapi yasudahlah siapa yang dapat disalahkan? Kisah tragis saya berlanjut
di semester 3, mendapat kelas dengan 2 orang anak guru, membuat saya mendapat
rangking dibawah kedua anak guru tersebut sehingga saya mendapat rangking 5, sedangkan
anak guru tersebut menduduki posisi ke-2 dan ke-3. Teman-teman tetap mendukung
saya, tapi hal ini sudah biasa terjadi di sekolah negeri. Bayangkan saja jika
Anda sebagai guru, Anda mempunyai anak guru di kelas Anda mengajar, pasti Anda
akan memberikan nilai yang baik kepadanya
hasalkan dia diam di kelas dan mengerjakan tugas walaupun dia kurang
pintar karena dia anak teman Anda. Sungguh sesuatu yang wajar karena kedaulatan
nilai sampai sekarang masih di tangan yang mulia guru. Jadi untuk menulis blog
ini saya mewawancarai seorang Pembina sebuah organisasi Kelompok Ilmiah Remaja
(KIR) yang ada di sekolah saya. Beliau adalah guru muda. Beliau mengaku kurang
menyukai tindakan nepotisme dan mengaku sulit untuk memberikan nilai karena
nantinya akan ada tindakan DISKRIMINASI dari para seniornya. Jadi dalam sekolah dambaan saya,
segala tindakan nepotisme dihapuskan dan bertindaklah adil.
Hal lain yang masih merupakan
sesuatu yang menjadi dambaan adalah kedisiplinan. Mungkin jika Anda berpikir
sebagai murid, anda tidaklah suka sekolah dengan disiplin ketat karena
mengahambat kehoga-hogaan Anda. Tetapi, cobalah Anda berpikir sebagai orang tua.
Alangkah tenangnya Anda jika anak Anda bersekolah di sekolah dengan disiplin
tinggi. Di samping segudang peraturan yang biasa kita jumpai, cobalah kita
tambahkan bebera peraturan lain seperti, setiap siswa yang berkendaraan tidak
boleh memasuki kawasan sekolah jika tidak memenuhi standart keamanan
berkendara. Kemudian untuk mengurangi angkaakan
banyak sekolah-sekolah lain yang meniru, dan hal tersebut berakibat semakin
baik bagi keasrian kota. PKS bidang Kesiswaan sekolah saya berkata, “Dari sekolahlah lahir orang yang akan
meneruskan Negara ini. Jika kita menanamkan rasa bertanggung jawab dan cinta
lingkungan semoga mereka lebih baik dari generasi kita.”
Hal lain yang menjadi dambaan
saya adalah dibudidayakannya organisasi-organisasi yang ada di sekolah. Organisasi
menurut saya adalah sebuah wadah yang dapat menahan kelabilan seorang siswa. Jadi,
di dalam organisasi sifat hoga-hoga siswa jadi lebih diarahkan. Jika pihak sekolah
lebih membudidayakannya, maka sekolah tersebut dapat menjadi sekolah teladan,
sekolah yang aktif berpartisipasi dan menambah daya tarik sekolah tersebut. Jika
organisasinya bagus, bukan tidak mungkin banyak siswa yang berprestasi datang kesekolah
itu untuk bergabung dengan organisasi tersebut dan mengharumkan nama sekolah itu juga. Pembina pramuka disekolah saya
berkata, “Geng motor adalah sebuah
organisasi dan pramuka juga organisasi. Mereka lebih memilih geng motor karna
lebih menarik menurutnya.” Oleh karena itu sebuah organisasi juga butuh
perhatian agar kelihatan lebih menarik.
Saya
adalah orang yang suka berkompetisi. Alangkah baiknya jika setiap sekolah itu
harus melewati tes murnii ketika mau masuk sekolah. Disamping untuk menahan
murid-murid yang kurang mampu agar tak perlu didongkrak-dongkrak dan menahan
tindakan nepotisme, hal ini juga akan menyaring siswa
yang benar-benar mampu untuk bersaing dan berprestasi. Memang kita akan melihat betapa berpatisi-partisinya manusia di dunia
ini. Ini mungkin menyakitkan, tapi itu mungkin akan
menjadi motivasi yang besar bagi setiap calon murid. Saya juga lebih suka
melihat sekolah yang memiliki kelas unggulan. Karena, jika seorang siswa masuk
kelas unggulan maka mereka akan merasakan atsmosfer
yang lebih panas, sehingga termotivasi dan berjuang dengan mesin yang panas
pula. Tetapi, jika murid yang layak menerima kelas unggulan tidak setuju untuk
masuk kelas unggulan tidak mau memasukinya mereka berhak menolak dikarenakan
takut rangkingnya turun atau alasan lain. Karena itu akan
membuat dia takut untuk tampil. Dan juga, dalam sekolah dambaan itu akan lebih baik jika dibuat sejenis kelas olimpiade. Sebab
materi dalam olimpiade adalah pelajaran yang sangat sedikit disinggung dalam
pelajaran sekolah karena saking mendalamnya. Jika murid diajarkan dan dapat
memenangkan olimpiade seperti OSN, dll, maka itu juga akan
mengharumkan sekolah dan menambah daya tarik sekolah tersebut. Memang akan memakan biaya lebih, tetapi dengan nilai jual yang akan
dihasilkan itu tidak akan mempengaruhi. Kita lihat saja SMA sekaliber SMA
Sutomo. Mereka melakukan hal seperti ini dan memetik buah yang sangat manis sekarang. Karena siswa sendiripun pasti ada yang ingin
sekali memanagkannya karena ada begitu banyak fasilitas pemerintah yang akan ditawarkan jika memenangkan olimpiade, sebut saja dapat
masuk UI tanpa testing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar